
Video Pendek Bisa Rusak Otak Anak? Waspadai Efek Popcorn Brain!
Jangan anggap remeh, video pendek bisa bikin anak kehilangan fokus dan gampang stres.
Belakangan ini, istilah “Popcorn Brain” atau “TikTok Brain” sering muncul di berbagai obrolan, mulai dari podcast, forum parenting, sampai diskusi seputar kesehatan mental. Mungkin terdengar seperti istilah lucu, tapi jangan salah ini bukan sekadar tren atau lelucon di media sosial. Popcorn Brain adalah gambaran nyata tentang bagaimana otak kita, terutama milik anak-anak, bisa terpengaruh serius oleh kebiasaan menonton video pendek secara berlebihan.
Coba ingat, pernahkah Anda membuka TikTok, YouTube Shorts, atau Instagram Reels hanya sebentar saja lalu tahu-tahu satu jam berlalu begitu saja? Tanpa sadar, kita menggulir layar tanpa henti, dari satu video ke video lain yang semuanya terasa menyenangkan. Inilah awal mula fenomena yang dinamakan Popcorn Brain.
Istilah ini menggambarkan kondisi otak yang seperti “meletup” terus-menerus karena paparan rangsangan cepat mirip seperti popcorn yang meledak satu per satu. Setiap video pendek yang kita tonton memberikan semacam “ledakan kecil” berupa rasa senang, lucu, mengejutkan, atau menyentuh.

Di balik itu, otak sedang melepaskan dopamin, yaitu hormon yang membuat kita merasa bahagia. Ini adalah bagian dari sistem penghargaan alami dalam tubuh, yang biasanya keluar saat kita melakukan hal menyenangkan seperti makan makanan favorit atau menyelesaikan tugas dengan baik.
Masalahnya, jika dopamin dilepas terlalu sering dari hal-hal instan seperti video pendek, otak bisa mulai “mengandalkan” sensasi cepat tersebut. Kita jadi terus-menerus mencari stimulus serupa, tanpa sadar kehilangan minat terhadap aktivitas yang lebih pelan atau butuh fokus. Ini bukan hanya soal kecanduan layar ini adalah perubahan cara kerja otak.

Anak-anak yang masih dalam masa perkembangan otak tentu jauh lebih rentan. Mereka jadi sulit fokus saat belajar, cepat bosan saat tidak mendapat hiburan visual, bahkan mengalami gangguan ingatan karena otak tidak sempat menyimpan informasi secara mendalam. Tidak sedikit pula yang akhirnya menunjukkan gejala stres, cemas, atau bahkan depresi karena realita terasa membosankan dibandingkan dunia cepat yang mereka konsumsi lewat layar.
Dan ini bukan hanya terjadi pada anak. Orang dewasa pun bisa mengalami hal serupa. Banyak dari kita yang merasa semakin sulit untuk duduk tenang membaca buku, menyelesaikan pekerjaan panjang, atau sekadar menikmati percakapan tanpa melihat layar. Menurut penelitian dari American Psychological Association, rentang perhatian manusia kini hanya sekitar 45 detikjauh menurun dibandingkan 2,5 menit pada era sebelum media sosial mendominasi.

Lalu apa yang bisa dilakukan?
Jawabannya bukan melarang total penggunaan gawai, melainkan mengembalikan keseimbangan. Anak-anak dan kita sendiri perlu kembali mengenal kegiatan yang berjalan lambat namun penuh makna bermain di luar rumah, membaca buku fisik, menggambar, atau sekadar mengobrol tanpa distraksi. Orang tua pun perlu menjadi contoh. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar.
Video pendek memang diciptakan untuk menghibur, dan tentu tidak semuanya buruk. Tapi saat konten-konten itu mengendalikan cara otak kita bekerja, di situlah masalahnya bermula. Popcorn Brain bukan soal teknologi yang salah, tapi soal bagaimana kita menggunakannya dan seberapa sering kita memberi jeda pada otak untuk bernapas.
Jadi, mari jaga otak kita tetap sehat. Kurangi ketergantungan pada hiburan instan, dan izinkan diri serta anak-anak kita kembali menikmati dunia nyata yang lebih pelan tapi jauh lebih bermakna.