Situasi Wadas Masih Memanas, KontraS dan PBNU Kecam Sikap Arogan Polisi

Sepanjang Selasa (8/2) hingga kini, pemberitaan tentang ribuan aparat kepolisan yang mengawal pengukuran lahan tambang batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo untuk pembangunan Bendungan Bener masih terus bergulir.

Tagar #WadasMelawan kian bergema, konflik kian menegang saat sebanyak 40 warga Wadas dan perwakilan LBH Yogyakarta ditangkap polisi dan sempat terjadi pemadaman listrik sehingga warga sulit mengakses internet. Hingga saat ini, Desa Wadas masih dalam kepungan aparat kepolisian.

KontraS mengutuk keras perbuatan intimidasi dan kriminalisasi aparat kepolisan terhadap warga Wadas.

“Tarik mundur aparat dari Desa Wadas dan hentikan perampasan ruang hidup masyarakat! Kami mengecam keras penyerbuan aparat Kepolisian dan kriminalisasi terhadap sejumlah warga yang terjadi hari ini di Desa Wadas,” dikutip dari Twitter @KontraS, Selasa (8/2)

Baca juga  Klarifikasi NU Soal Iduladha di Indonesia Berbeda dengan Arab Saudi

KontraS melalui sebuah utas di laman Twitternya menerangkan bahwa tindak kekerasan, adanya intimidasi, dan penangkapan terhadap warga bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang implementasi HAM. Lebih lanjut, KontraS menyesalkan pihak aparat kepolisian terlalu berlebihan dalam menyikapi penolakan warga terhadap keberadaan pertambangan.

Ketua PBNU, Alissa Wahid juga menilai tindakan pengukuran lahan perlu dimusyawarahkan dengan masyarakat setempat. Alissa meminta Kapolda Jateng untuk membebaskan warga Wadas yang ditahan oleh pihak kepolisian.

“Atas nama Gusdurian, kami meminta Kapolda Jateng untuk membebaskan warga Wadas yang ditahan. Juga meminta kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk menunda pengukuran tanah, dan lain-lain sampai kita selesai bermusyarah, dan menghindarkan clash antara rakyat dengan aparat negara,” ujar Alisa melalui akun Twitternya, Selasa (8/2).

Baca juga  Heboh Ka’bah Metaverse untuk Berhaji, Bagaimana Hukumnya?

Alissa sangat menyayangkan sikap permerintah yang seolah bertindak otoriter terhadap warga yang mempunyai hak menolak tanahnya untuk dialihfungsikan.

“Akar masalah ini ada pada paradigma pembangunan kita. Rakyat diminta menyerahkan tanah airnya kepada Negara, dengan dalih demi kepentingan lebih besar. Benar-benar rakyat itu (dianggap) kecil. Kalau menolak, dianggap membangkang kepada Negara. Dianggap diprovokasi. Boleh ditindak,” tandas Alissa.

Translate »