Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari beragam perlombaan. Lomba agustusan seperti panjat pinang, balap karung, dan berbagai lomba lain yang kerap meramaikan peraayaan kemerdekaan tiap bulannya.
Hal ini terdapat kaidah-kaidah yang perlu dipahami untuk Scarflocers, dalam mengikuti dan menyelenggarakan perlombaan Agustusan agar tidak terjebak dalam perlombaan yang tidak berkesesuaian dengan ketentuan norma syariat.
Pendapat Ulama tentang Perlombaan
1. Ibnu Qudamah
الْمُسَابَقَةُ بِغَيْرِ عِوَضٍ فَتَجُوزُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ كَالْمُسَابَقَةِ عَلَى الْأَقْدَامِ وَالسُّفُنِ وَالطُّيُورِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَالْفِيَلَةِ وَالْمَزَارِيقِ وَتَجُوزُ الْمُصَارَعَةُ، وَرَفْعُ الْحَجَرِ لِيُعْرَفَ الْأَشَدُّ
Artinya, “Ulama Islam ijma’ atas kebolehan perlombaan secara umum. Perlombaan ada dua macam, yaitu perlombaan tanpa ada hadiah dan perlombaan dengan hadiah. Perlombaan tanpa hadiah yang diperebutkan hukumnya boleh secara mutlak tanpa ada ketentuan mengikat, seperti lomba lari, perahu, burung, bighal, keledai, gajah, dan lembing. Begitu pula boleh lomba gulat dan lomba angkat batu untuk mengetahui siapa yang paling kuat.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Kairo, Maktabah Al-Qahirah: 1968], jilid IX, halaman 240).
2. Syekh As-Syirbini
والمسابقة الشاملة للمناضلة سنة للرِّجَال الْمُسلمين بِقصد الْجِهَاد بِالْإِجْمَاع وَلقَوْله تَعَالَى: وَأَعدُّوا لَهُم مَا اسْتَطَعْتُم من قُوَّة. وَفسّر النَّبِي صلى الله عليه وسلم الْقُوَّة بِالرَّمْي
Artinya, “Perlombaan yang mencakup juga lomba memanah hukumnya sunah bagi laki-laki Muslim dengan tujuan jihad bela negara secara ijma’. Juga berdasarkan firman Allah: ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi’ (QS Al-Anfal: 60). Rasulullah saw menafsirkan kata ‘kekuatan’ dalam ayat makna dengan memanah.” (Al-Khatib As-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: 1431 H), jilid II, halaman 596).
3. Nihayatul Muhtaj
وَ يَجُوزُ شَرْطُهُ (مِنْ أَحَدِهِمَا فَيَقُولُ إنْ سَبَقْتَنِي فَلَكَ عَلَيَّ كَذَا وَإِنْ سَبَقْتُكَ فَلَا شَيْءَ) لِي (عَلَيْك) إذْ لَا قِمَارَ
Artinya, “Boleh mensyaratkan hadiah dari salah satu peserta seperti seseorang berkata: “Jika kamu mengalahkan aku, maka kamu akan mendapatkan hadiah sekian dariku. Namun jika aku mengalahkanmu, maka tidak ada tanggungan apapun atasmu untukku. Lomba semacam ini dibolehkan karena di dalamnya tidak ada unsun judi (qimar).” (Syamsuddin Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1984], jilid VIII, halaman 168).
Kaidah Perlombaan agar Terhindar dari Unsur Judi
Melansir dari website Nahdlatul Ulama, kaidah yang harus dipatuhi agar perlombaan tidak mengandung judi yang diharamkan, yaitu :
1. Hadiah berasal dari pihak ketiga. Seperti kepala daerah, sponsor, atau donatur dari para warga yang mampu. Begitu pula hadiah boleh berasal dari sekolah untuk beberapa perlombaan yang diadakan di sekolahan.
2. Penyelenggara perlombaan boleh menarik iuran dari peserta, asalkan uang iuran digunakan untuk biaya operasional perlombaan, bukan untuk hadiah.
3. Penyelenggara bisa menjual suvenir atau produk pada peserta dan hasil penjualan bisa digunakan untuk hadiah dengan syarat harganya wajar. Pada hakikatnya hasil penjualan suvenir atau produk adalah milik panitia karenanya panitia bisa menggunakannya sesuai keinginannya termasuk untuk hadiah.
4. Dengan cara tidak menarik iuran dari semua warga. Contoh untuk beberapa warga kurang mampu tidak ditarik iuran, namun tetap diperbolehkan mengikuti perlombaan dan mendapatkan kesempatan serta peluang yang sama untuk menang serta mendapatkan hadiah.
Warga yang tidak ditarik iuran inilah yang bisa menjadi muhallil sehingga perlombaan tidak mengandung unsur judi. Wallahu a’lam.