KPPPA Lakukan Pencegahan Perkawinan Anak di Bawah Umur

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menanggapi atas kasus Wedding Organizer (WO) bernama Aisha Weddings yang mengajak para perempuan untuk menikah muda yaitu berusia 12 tahun sampai maksimal 21 tahun.

Bahkan seruan pada pernikahan siri dan poligami turut dipromosikan. Hal ini tentu sebuah peringatan bagi semua pihak untuk lebih intensif melakukan sosialisasi dan advokasi, serta menegaskan bahwa perkawinan anak di bawah umur tidak boleh terjadi.

Kasus Kontroversial Aisha Weddings Karena Bisa Membawa Dampak Negatif Bagi Anak Indonesia.

Image: Tangkapan monitor laman aishaweddings.com dari twitter.com @SwetaKartika

“Kasus Aisha Weddings menjadi tantangan bagi Kemen PPPA untuk dapat merespon cepat dan mengawal isu pencegahan perkawinan anak, serta memastikan tumbuh kembang anak dapat berjalan optimal,” kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N. Rosalin, dalam siaran pers yang dipublikasikan Selasa (16/2)

Menyadur dari www.kemenpppa.go.id, Lenny menambahkan bahwa rapat koordinasi menjadi langkah strategis ke depan bagi pemerintah untuk bersinergi menindaklanjuti kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dan praktik, baik yang sudah dilakukan pilar pembangunan lainnya, seperti Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, Lembaga Profesi, Dunia Usaha, dan Media Massa untuk menurunkan angka perkawinan anak hingga 8,74 persen pada 2024, bahkan menghapuskannya.

Lenny mengungkapkan, perkawinan anak di bawah umur memiliki berbagai dampak negatif yang tidak hanya merugikan anak, maupun keluarga, tapi secara keseluruhan juga merugikan negara.

“Dampak negatif dari perkawinan anak inilah yang perlu terus-menerus kita sampaikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, anak, maupun semua pihak terkait,” ungkapnya.

Image: Pexels @Ekrulila

Beberapa dampak negatif terjadi dari perkawinan anak, antara lain:

  1. Meningkatnya angka anak putus sekolah akibat menikah
  2. Tingginya angka stunting yaitu kurangnya asupan gizi dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan meningkatnya angka kematian bayi atau angka kematian ibu
  3. Meningkatnya pekerja anak, adanya upah rendah, sehingga menimbulkan kemiskinan. 

“Belum lagi dampak perkawinan anak lainnya seperti tingginya KDRT, kekerasan terhadap anak, terganggunya kesehatan mental anak dan ibu, munculnya pola asuh yang salah pada anak, hingga identitas anak yang tidak tercatat karena tidak memiliki akta kelahiran, sehingga memunculkan risiko terburuk yaitu terjadinya perdagangan orang,” imbuh Lenny.

Baca juga  Hentikan Kebiasaan Buruk Ini untuk Meningkatkan Kesuburan

Masalah perkawinan anak merupakan masalah kritis mengingat masih banyak daerah di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak cukup tinggi. Pada 2019, diketahui ada sebanyak 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional yaitu 10,82 persen. Dari 2019 hingga 2020, telah terjadi penurunan angka perkawinan anak sebanyak 0,6 persen, dan diharapkan dapat terus menurun hingga 8,74 persen pada 2024. 

“Untuk itu, diperlukan upaya untuk menurunkan angka ini secara drastis bahkan menghapuskannya, sehingga Indonesia menjadi negara tanpa perkawinan anak. Kemen PPPA sudah memasukan isu perkawinan anak sebagai indikator ke tujuh dari 24 indikator Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA). Kemen PPPA juga telah melakukan beragam strategi secara masif yang tentunya memerlukan dukungan sinergi semua pihak, mulai dari melakukan sosialisasi webinar berseri, sosialisasi secara gencar melalui media sosial, mobilisasi melibatkan K/L, Lembaga Masyarakat, dan unsur lainnya,” kata Lenny.

Upaya Kemen PPPA untuk Mencegah dan Mengatasi Kasus-Kasus Lain yang Serupa

Kemen PPPA juga telah dan akan terus melakukan intervensi yaitu merangkul berbagai pihak seperti anak melalui Forum Anak; Masyarakat melalui PUSPAGA; Lembaga Pendidikan seperti Sekolah/Madrasah Ramah Anak; Lembaga Agama seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil (Capil) untuk memberikan bimbingan pra nikah; Lembaga Hukum seperti Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri; Lembaga Kesehatan seperti Rumah Sakit/Puskesmas Ramah Anak; melakukan penetapan daerah ramah anak melalui pendekatan wilayah; bersama NGO melatih paralegal di Provinsi dengan kasus perkawinan anak yang tinggi; dan pihak lainnya.

“Untuk memperkuat capaian 2021-2024, saat ini kami sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk Dispensasi Kawin terkait mekanisme pengajuan dispensasi kawin terintegrasi yang dibuat sebagai pedoman bagi masyarakat. Selain itu, memperkuat koordinasi pencegahan dan penanganan antar stakeholder terkait di pusat dan daerah; melakukan aktivasi layanan UPTD PPA untuk mediasi dan pendampingan di daerah; serta melakukan pendataan, pelaporan, dan pemantauan yang efektif,” imbuh Lenny.

Lenny berharap berbagai upaya ini dapat memberikan dampak positif, baik dalam jangka pendek, jangka menegah, dan jangka panjang. “Ini semua dilakukan demi menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup anak Indonesia, dengan begitu SDM berkualitas bangsa ini dapat kita wujudkan di masa depan,” jelas Lenny.

Baca juga  Patung Wanita Berhijab Pertama di Dunia Segera Hadir di Inggris

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Femmy Eka Kartika menegaskan bahwa promosi WO Aisha Weddings sangat membuat tidak nyaman, tidak mendidik, serta tidak pantas dilakukan karena melukai hati anak Indonesia yang sedang semangat mengejar cita-citanya menuju Generasi Emas 2045. 

“Adanya ajakan untuk menikah siri dan mau dipoligami juga sangat melukai perempuan. Hal ini sangat memprihatinkan. Keyakinan Aisha Weddings mengenai perempuan harus mencari pasangan sejak usia 12 tahun merupakan keyakinan yang didasari pemahaman sempit dengan mengatasnamakan ajaran agama. Menikah di usia yang sangat muda bertentangan dengan tujuan syariat nikah itu sendiri, yaitu harus membawa kemaslahatan dan kebaikan bagi keluarga dan anak. Kami mendesak pihak Kepolisian untuk mengusut siapa dibalik Aisha Weddings dan menindak oknum tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” tambah Femmy.

Sama halnya dengan Femmy, Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati menuturkan bahwa ajakkan perkawinan anak oleh Aisha Weddings merupakan bentuk adanya pemahaman agama yang ideologis, yang juga menjadi salah satu penyebab maraknya perkawinan anak di Indonesia.

Koordinasi Antara Pemerintah Dengan Berbagai Lapisan Masyarakat Jadi Poin Penting Terkait Kasus Perkawinan Anak Di Bawah Umur

Menurut Rita, persoalan perkawinan anak merupakan permasalahan kultural yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah, diperlukan koordinasi dan kerja besar semua pihak agar optimal dalam melakukan pengawasan, serta pentingnya upaya pencegahan (preventif) perkawinan anak hingga level terkecil dalam masyarakat. 

Terkait proses penegakan hukum kasus Aisha Weddings, Perwakilan Bareskrim POLRI, Ema mengungkapkan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penelurusan pihak Cyber Crime POLRI untuk mencari siapa pemilik website ini dan menetapkan pidana tepat untuk menjerat pelaku.

“Mengingat tidak ada Undang-Undang khusus mengatur ancaman pidana bagi perkawinan anak, kami menerapkan pasal KUHP terkait persetubuhan dan pencabulan anak. Jika ada unsur pidana lain, akan kami analisis kasusnya seperti apa, tujuannya apa, dan akan ditambahkan hukuman bersadarkan pasal tambahan,” tutup Ema.

(BR)

Translate »